-->






Iklan

Memperbaiki Akhlak Kepada Allah Ciri Orang yang Mengikuti Sunah Rasull

Memperbaiki aklak bagi umat muslim adalah sesuatu yang baik di lakukan karena dengan aklak yang baik akan bisa menyempurnakan iman kita.
Kita memperbaiki akhlak bukan untuk supaya di puji atau supaya mendapatkan pamor dari orang lain namun memperbaiki aklak semata-mata hanya untuk ALLAH SWT seperti yang sudah di serukan oleh nabi besar Muhammad saw.

memperbaiki ahklak demi allah

Memperbaiki akhlak yang baik ini juga salah satu dari misi Dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Nabi Muhammad saw)
Di antara salah satu misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “menyempurnakan akhlak”; dan bukan mengajarkan akhlak dari nol setelah sebelumnya tidak tahu sama sekali. Hal ini karena dulu masyarakat musyrik jahiliyyah telah memiliki sebagian bentuk akhlak yang luhur sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah menepati janji; memuliakan tamu; dan suka memberi makan orang yang membutuhkan. Sehingga akhlak-akhlak yang baik itu dipertahankan, sedangkan akhlak mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itulah yang menjadi sasaran perbaikan.

Memperbaiki dan Memprioritaskan akhlak kepada Allah Ta’ala

Kalau kita berbicara dan menyebutkan tentang akhlak, yang terlintas dalam benak dan bayangan kita adalah bagaimanakah kita bersikap/berperilaku baik kepada sesama manusia, misalnya kepada orang tua, kepada guru, kepada tamu, atau kepada siapaun bahkan kepada orang yang belum kita kenal juga.
Aklak juga termasuk dalam hal berbicara sopan santun lembut dan tidak menyinggung kepada orang lain apa lagi berbicara yang memang itu bukan urusan/bukan hak nya.

Sebelumnya mungkin tidak terlintas beraklak baik ini tidak hanya untuk sesama manusia akan tetapi beraklak baik ini juga untuk ALLAH SWT, ( BERAKLAK AGUNG UNTUK ALLAH SWT) Hal ini juga tertuang dalam firman allah yang berbunyi seperti di bawah ini

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain DIA dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga akhlak kepada kedua orang tua. Kedua orang tua kita adalah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan sikap dan perlakuan yang baik dari kita.

Namun, sebelum Allah Ta’ala menyebutkan perintah berbuat baik alias berakhlak kepada orang tua, Allah Ta’ala terlebih dahulu menyebutkan hak-Nya, yaitu perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini mengisyaratkan, akhlak kepada Allah Ta’ala, yaitu tauhid, adalah hak yang lebih agung dan lebih harus diperhatikan sebelum hak kedua orang tua.

Demikian juga dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36)

Dalam ayat di atas, sebelum Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berakhlak kepada sesama manusia, yaitu sembilan golongan yang Allah sebutkan (orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan budak), Allah Ta’ala perintahkan untuk berakhlak terlebih dahulu kepada Allah Ta’ala, yaitu mentauhidkan-Nya dalam ibadah.

Hal ini menunjukkan, tanpa akhlak kepada Allah Ta’ala, semua itu hanyalah sia-sia belaka dan tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala
Sebaik apa pun akhlak orang kafir kepada sesama manusia, mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah Ta’ala

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa akhlak kepada Allah Ta’ala adalah yang menjadi pokok, sedangkan akhlak kepada sesama manusia atau sesama makhluk secara umum itu sekedar mengikuti setelah seseorang memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala.

Sehingga meskipun manusia itu memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, misalnya jujur, tidak pernah mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak pernah korupsi, amanah jika diberi jabatan, dan lain-lain, jika mereka tidak beriman kepada Allah Ta’ala, akhlak-akhlak yang luhur kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya sama sekali.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebut orang-orang kafir sebagai seburuk-buruk makhluk, tanpa melihat sebagus dan seluhur apa pun akhlak dan perbuatan mereka terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)

Bukti lainnya bahwa akhlak kepada sesama makhluk itu tidak ada nilainya selama manusia tidak berakhlak kepada Allah Ta’ala adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi kaum musyrikin, sampai mereka mau berakhlak kepada Allah Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138)

Sebagian akhlak mulia kepada sesama manusia yang kaum musyrikin miliki itu tidak ada nilainya, sampai mereka mau beriman kepada Allah Ta’ala dan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam seluruh aktivitas peribadatan mereka.
Syubhat orang liberal: Tidak perlu memiliki agama formal, yang penting memiliki akhlak sosial

Sebagian orang yang terkena penyakit liberalisme mengatakan, “Manusia tidak perlu mengikatkan diri dalam agama formal tertentu. Yang penting, mereka punya akhlak sosial yang luhur: jujur, tidak berkata dusta, saling menyayangi, tidak membunuh, tidak mencuri harta orang lain, suka membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, dan seterusnya. Tidak mungkin Allah tega memasukkan hamba-Nya ke dalam neraka jika hamba-Nya itu telah memiliki akhlak-akhlak yang luhur tersebut.”

Inilah syubhat yang ditebarkan oleh orang-orang liberal. Mereka anggap itu adalah pemikiran modern, padahal pemikiran itu adalah pemikiran kuno, pemikiran orang musyrikin sejak zaman dahulu dan telah Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an.

Allah Ta’ala mengatakan,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram itu kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19)

Dulu, orang-orang musyrikin membanggakan amal-amal sosialnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membanggakan “akhlak” mereka berupa suka memberi minum orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan juga rajin mengurusi Masjidil Haram. Mereka membanggakan amal itu, sehingga tidak lagi merasa butuh kepada amal yang lain, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala dan jihad di jalan Allah Ta’ala.

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala langsung membantah argumentasi mereka. Bahwa di sisi Allah, tidaklah sama antara orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dengan orang yang hanya mengandalkan amal dan akhlak sosial semata. Jangan disamakan antara amal iman kepada Allah Ta’ala dengan amal memberi minum jamaah haji yang butuh minum.

Dengan kata lain, akhlak orang-orang musyrikin kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya, sampai mereka memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala terlebih dahulu.

Pembahasan di atas bukanlah berarti bahwa akhlak kepada sesama manusia itu tidak penting. Bukan maksudnya demikian. Bahkan, berkahlak kepada manusia adalah konsekuensi iman kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, dalam banyak hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan beberapa perkara akhlak dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 47. Lafadz hadits ini miliak Bukhari.)

Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara konsekuensi kesempuranaan iman kepada Allah Ta’ala adalah memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi penulis sendiri dan kaum muslimin dan muslimat untuk memperbaiki akhlak kepada Allah Ta’ala, kemudian memperbaiki akhlaknya kepada sesama manusia dan ke sesama makhluk secara umum.

Artikel ini sudah tayang dalam Muslim.or.id dengan judul pentingnya memprioritaskan aklak kepada allah https://muslim.or.id/46861-memprioritaskan-akhlak-kepada-allah.html
penyunting akir Bege Putra Jhon Thani
Komentar

Tampilkan

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah mengunjungi jasa setting Website / Jasa Pembuatan Website www.jasa-website.web.id semoga bermanfaat , kontak 081399167240

Komputer

+